Rabu, 25 Februari 2015

100 Hari Jokowi: Jokowi Adalah Mereka #94772

100 Hari Jokowi: Jokowi Adalah Mereka

Hari-hari kampanye pemilihan presiden diwarnai perang jargon antar kandidat. Kubu Jokowi sukses memperkenalkan jargon: ‘Jokowi Adalah Kita’. Kita disini diasosiasikan dgn rakyat. Lebih khusus lagi rakyat miskin, proletar yg jumlahnya mencapai lebih dari 25 juta jiwa.

Meskipun banyak jg orang yg kemudian menyebut apa yg ditampilkan Jokowi adalah artificial, polesan media dan hasil rekayasa citra yg melibatkan para ahli dibidangnya, namun rakyat sudah kadung terbius dgn jargon tersebut, ditambah lagi dgn tampilan Jokowi yg seolah bersahaja dan tak menjaga jarak dgn rakyat.

Seorang netizen misalnya menulis di Kompasiana:

“Jokowi adalah produk hasil pencitraan. Semua segi pd diri seorang Jokowi dieksplorasi sebagai bahan pencitraan. Tampilan fisiknya yg cungkring, tak ganteng dan ndeso, gaya bicara yg tak anggun santun dan gerak gerik yg tak mantap gagah, masa lalu yg orang gusuran, prestasi ala kadarnya yg dibesar-besarkan, semua diramu secara canggih, disusun secara terstruktur, dimasukkan secara sistematis ke dlm jualan industri media dgn segala bentuknya, lalu terus menerus secara masif dibombardirkan kepada khalayak masyarakat, sehingga ingatan dan kesadaran mereka secara mau tak mau, secara bawah sadar akhirnya menerima Jokowi untuk menjadi presiden republik Indonesia.
Pemahaman tentang modus pencitraan Jokowi telah disadari, diketahui oleh banyak orang sangat pintar di Indonesia baik dari kalangan cendekiawan maupun politisi, dari rakyat biasa maupun para pemimpin, lalu disebarluaskan pula melalui media agar masyarakat paham bahwa semua tentang Jokowi hanyalah pencitraan. Tapi karena kalah dlm kampanye perang media dgn backing Jokowi, maka pencitraan Jokowi tak dpt dibendung. Mengenai pencitraan Jokowi ni diketahui dan diamini jutaan orang, bahkan puluhan juta orang di Indonesia. Maka sesuatu yg dibenarkan oleh puluhan juta orang, jumlah yg melebihi semua penduduk negara ASEAN lain digabung menjadi satu, adalah benar. Kalau tak boleh saklek mengatakan bahwa itu benar, ya setidaknya hal itu menjadi kebenaran yg diyakini oleh yg puluhan juta orang itu.”

Meski banyak penulis yg kemudian membuat analisa tentang citra artifisial Jokowi yg mengingatkan kita akan Lula da Silva, Presiden Brazil yg jg sukses memoles citra dirinya sebagai bagian dari rakyat proletar (namun dikemudian hari terbukti menjual negaranya secara murah kepada asing), namun ‘Jokowi adalah Kita’ sudah kadung diterima secara luas dan terbukti mengantarkan Jokowi sebagai presiden.

Jokowi Adalah Mereka

Belum sampai 100 hari sejak dilantik Jokowi sudah memperlihatkan watak aslinya. Bahkan belum genap satu bulan Jokowi sudah mulai mengambil jarak dgn rakyat, yaitu saat dgn tergesa-gesa menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah harga minyak mentah yg justru sedang turun tajam. Meskipun banyak pakar ekonomi yg memeringatkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM saat itu tak tepat Jokowi tak peduli dan tetap berlari meninggalkan rakyat pemilihnya yg sebagian besar orang miskin dan paling merasakan dampak kebijakan tersebut. Jokowi mulai menampakkan diri bukan lagi bagian dari kita.

Sebenarnya luka bagi masyarakat pemilih sudah diberikan Jokowi sebelum itu, yaitu saat pengumuman kabinet.

Sedikitnya dlm hal ni Jokowi dua kali membohongi ‘Kita’. Pertama, saat Jokowi menjanjikan kabinet ramping namun nyatanya kabinet kerja tetap gemuk. Bahkan jumlah kementerian tetap sama dgn periode sebelumnya. Kedua, saat pengumuman nama-nama menteri yg tak bisa dimungkiri jadi semacam bagi-bagi jatah bagi seluruh pihak yg dianggap berjasa bagi Jokowi. Demikian jg dgn pemilihan direksi dan komisaris BUMN. Ini semacam politik balas budi, / Belanda menyebutnya Politik Etis. Jokowi bukan lagi milik kita.

‘Jokowi Adalah Kita’ semakin tinggal kenangan saat Sudirman Said, Menteri ESDM, mengeluarkan ijin ekspor Freeport meskipun Freeport mengabaikan kewajiban membangun smelter. Langkah menteri ESDM ni mengangkangi UU No. 4 tahun 2013 tentang minerba.

Jokowi makin kedodoran mempertahankan citranya sebagai bagian dari kita ketika tetap nekad mengajukan Komjen Budi Gunawan yg sudah diberi catatan merah oleh KPK sebagai calon Kapolri. Kenekatan Jokowi ni akhirnya melahirkan konflik baru ‘Cicak VS Buaya’ yg kali ni ditambah ‘Banteng bermoncong putih’.

Kembali ke soal BBM, pemerintahan Jokowi memang akhirnya menurunkan harga BBM, bahkan dua kali berturut-turut dlm tempo satu bulan. Tetapi kebijakan ni jg rupanya hanya semacam ‘Jebakan Batman’. Euforia rakyat yg dpt lagi menikmati BBM murah menjadi waktu yg pas bagi pemerintah untuk mengkhianati amanah rakyat. Bersamaan dgn penurunan harga BBM, pemerintah resmi mencabut subsidi BBM dari APBN. Di dlm APBNP 2015 pemerintah menghapus subsidi BBM hingga mencapai Rp 186 triliun.

Itu artinya, meskipun saat ni harga BBM turun hingga ke level Rp 6.600/liter, bukan tak mungkin bulan depan dan bulan-bulan berikutnya akan melejit hingga Rp 10.000/liter / bahkan lebih. Sebab pencabutan subsidi secara total berarti harga BBM akan mengikuti harga pasar.

Siapa diuntungkan? Investor asing pemilik SPBU asing seperti Shell, Petronas, jelas berpesta menyambut kebijakan ini.
Dengan demikian, masihkah relevan menyebut Jokowi adalah kita? Atau barangkali lebih tepat sekarang kita menyebutnya, ‘Jokowi Adalah Mereka’.(sharia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

D.M.C.A Disclaimer of Lukas Blog - All contents published under GNU General Public License.
All images/photos/videos found in this site reserved by its respective owners. We does not upload or host any files.