Senin, 16 Februari 2015

Ketika Penghasilan para PSK ABG Melebihi Orang Kantoran #98966

Tidak banyak yg diketahui orang tentang Kecamatan Bongas, Indramayu selain sebagai kampung halaman seorang penyanyi dangdut ternama. Seperti di daerah lain, di pesisir pantai utara Jawa, mayoritas warga Bongas bekerja sebagai buruh tani.

Sehari-hari, daerah ni tak beda dgn kampung pd umumnya. Namun di musim-musim mudik seperti sekarang ini, kehadiran 'bule-bule lokal' memberikan warna berbeda dlm kehidupan warga Bongas. Mereka adalah para pekerja seks yg sedang pulang kampung.

Ketika Penghasilan para PSK ABG Melebihi Orang Kantoran

"Kalau ingin melihat suasana yg beda dari Bongas, itu pas lebaran, pas hari-H / puasa minggu pertama. Nah itu kan pd pulang kampung, di situ banyak 'bule-bule lokal'," kata Wisnu, relawan Yayasan Kusuma Buana yg memiliki komunitas dampingan di desa Bongas Pentil.

"Rambutnya warna-warni, dgn dandanan yg modis menurut versi mereka walaupun kadang pas kadang ada yg nggak pas," lanjut Wisnu.

Bongas, dan jg beberapa daerah lain di Jawa Barat dikenal sebagai dearah-daerah yg rawan trafficking. Selain banyak yg bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), perempuan-perempuan muda di daerah ni banyak dikirim sebagai pekerja seks di kota-kota besar seperti Jakarta.

Faktor budaya yg sudah turun temurun turut melanggengkan kerentanan tersebut. Menjadi pekerja seks, bagi sebagian warga Bongas dianggap sebagai wujud bakti terhadap orang tua karena bisa mengubah ekonomi keluarga agar tak selamanya menjadi buruh tani.

"Di sini, ada faktor 'keterlibatan' masyarakat jg lewat pembiaran-pembiaran. Keterlibatan dlm tanda petik. Dengan tak melaporkan bila ada kasus. Secara tak langsung itu membuat begitu maraknya para perempuan menjadi korban perdagangan manusia," kata Wisnu.

Minimnya sarana pendidikan jg menjadi faktor pendorong bagi para perempuan muda untuk merantau. Riset Yayasan Kusuma Buana di tahun 2003 menunjukkan hanya ada 1 SMP di 1 kecamatan untuk menampung lulusan 32 Sekolah Dasar maupun Madrasah Ibtidaiyah di daerah tersebut.

Perputaran Uang yg Menggiurkan

Selain ada banyak faktor pendorong dari kampung halaman, banyak perempuan muda menjadi korban perdagangan manusia karena begitu kuatnya faktor penarik dari kota-kota besar seperti Jakarta. Gaya hidup glamor yg ditampilkan 'bule-bule lokal' yg sedang mudik, sedikit banyak membuat generasi muda tertarik untuk mengikuti jejak seniornya.

Nono, warga Bongas yg pernah menjadi penyalur perempuan-perempuan muda Bongas untuk dipekerjakan di berbagai wilayah di Indonesia mengakui adanya daya tarik dari kota. Menurutnya, perputaran uang di kalangan pekerja seks dan orang-orang di lingkarannya memang menggiurkan.

"Pertama kali datang itu dpt Rp 2 juta, istilahnya uang bedak. Nanti kalau sudah lancar anaknya bekerja, bisa dpt pinjaman Rp 40 sampai 50 juta. Bayarnya ya nanti setelah anaknya kerja, tiap bulan dipotong," kata Nono yg kini menjadi relawan untuk Yayasan Kusuma Bongas, sebuah komunitas dampingan dari Yayasan Kusuma Buana.

Sebagai calo / penyalur, Nono pun kala itu mendapat bayaran yg lumayan. Tiap anak yg dibawanya dari kampung, oleh mami di tempat anak-anak tersebut bekerja akan dihargai minimal Rp 500 ribu. Itu belum termasuk semacam royalti, yg dibayarkan kepadanya tiap bulan berdasarkan jam kerja si anak selama ikut mami.

Mantan pekerja seks Endang Suryanti membenarkan besarnya perputaran uang di kalangan pekerja seks. Terlepas dari fasilitas uang pinjaman yg ditawarkan para mami, penghasilan para pekerja seks itu sendiri sudah bisa melebihi gaji pegawai kantoran.

"Yang freelance saja (tidak ikut mami), dan masih muda ya, semalam dpt lho kalau cuma Rp 1 / 2 juta. Tapi itu yg masih muda, kalau yg udah tua tau sendiri tarifnya saja cuma Rp 50 ribu sekali main," kata Endang yg kini memimpin Yayasan Bandungwangi untuk mendampingi para pekerja seks di Jakarta Timur.

Faktor penghasilan itu jugalah yg membuat Endang kesulitan untuk merangkul para pekerja seks, khususnya yg menjadi korban trafficking dan masih di bawah umur untuk lepas dari dunia prostitusi. Bagi sebagian dari mereka, tak ada yg lebih mudah untuk mengumpulkan uang sebanyak itu selain dgn menjual diri.

Menelisik Geliat PSK ABG di Jakarta, Ketika Mereka Terjerat para 'Mami'

Saat razia tempat-tempat hiburan sedang marak-maraknya di bulan puasa, kebanyakan pekerja seks memang pulang kampung untuk libur sementara. Namun di berbagai sudut kota Jakarta, geliat kupu-kupu malam tetap semarak seperti biasanya.

Nancy, sebut saja demikian, adalah salah satu di antaranya. Setiap malam, remaja 19 tahun asal Medan, Sumatera Utara ni tetap membantu 'maminya' berjualan minuman di kawasan Prumpung, Jakarta Timur. Jika ada tamu yg menghendaki, Nancy pun menyediakan diri untuk dibawa ke losmen terdekat.

Masih di kawasan Jakarta Timur, Wati dari Purwakarta lebih terbuka saat mangkal di seberang Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Tanpa kedok berjualan minuman seperti yg dilakukan Nancy dan belasan remaja lain, perempuan 20 tahun ni terang-terangan menjajakan diri di pinggir jalan.

Sementara itu di ujung utara Kota Jakarta, kawasan Kolong Jembatan alias di Kojem di Kampung Baru, Cilincing menjadi salah satu pusat hiburan malam kelas menengah ke bawah yg tetap semarak di bulan puasa. Di tempat ini, gadis-gadis belasan tahun pun banyak dipekerjakan untuk menemani para tamu.

Kekhawatiran akan adanya razia tentu saja ada. Remaja asal Indramayu, Jawa Barat, Dewi (17) mengisahkan 2 rekan yg bekerja di kafe yg sama dgn dirinya terjaring razia pd malam sebelumnya. Bosnya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebusnya.

"Biasanya sih dari atas ada yg ngasih tahu kalau ada razia, jadi kita ngumpet dulu. Nggak tahu, kemarin itu untungnya saya sempat lari," kata Dewi yg belum setahun bekerja di kawasan Kojem kepada detikcom akhir pekan lalu.

Agak berbeda dgn rekan-rekan seprofesinya di pinggiran Jakarta, Tania (17) asal Pemalang Jawa Tengah yg menjadi pekerja seks di sebuah hotel di Mangga Besar Jakarta Pusat mengaku lebih tenang. Mami / bosnya mengatakan urusan keamanan sudah dikoordinasikan sehingga keselamatannya lebih terjamin.

Nancy, Wati, Dewi maupun Tania sama-sama masih belia dan harus menjalankan pekerjaan berisiko tinggi. Tentunya bukan tanpa alasan jika para remaja ni nekat menjalankan pekerjaan tersebut dgn segala risikonya mulai dari razia, kekerasan seksual dari tamu dan infeksi berbagai penyakit.

Nancy mengaku punya utang Rp 5 juta ke maminya untuk beli ganja beberapa bulan lalu dan kini harus menebusnya dgn tetap bekerja meski di bulan puasa. Wati bukan pecandu, namun ia jg pernah mengambil 'cashbon' alias utang ke maminya saat harus mengirim uang ke kampung karena 2 orang adiknya butuh membayar uang sekolah.

Tak seperti Nancy, Dewi tak memiliki utang ke bosnya yg sekarang karena baru sebulan pindah dari kafe lain, namun ia jg butuh ongkos untuk mudik ke Indramayu dan setoran bulanan untuk orang tuanya di kampung. Sementara Tania, justru tetap melayani panggilan lelaki hidung belang agar tak harus ambil THR (Tunjangan Hari Raya).

"Kayak saya ni sebenarnya dpt THR, lumayan sih bisa buat bagusin rumah di kampung. Tapi ya itu, sebenarnya dihitung cashbon jg sih. Daripada nanti pulang dari kampung musti kerja keras buat ngelunasinya, mendingan tetap kerja dari sekarang," kata Tania.

Fasilitas THR memang diberikan oleh beberapa mami alias mucikari untuk para primadona, yakni pekerja seks 'berprestasi' yg dinilai mendatangkan banyak pelanggan. Besarnya THR ni bervariasi, mulai dari Rp 5 juta hingga pd level tertentu nilainya bisa mencapai Rp 60 juta.

"Sekarang banyak bos-bos tempat hiburan yg memberikan THR bagi primadonanya. Jadi pekerja seks yg mendatangkan banyak pelanggan, ketika mau pulang kampung mereka dikasih THR," kata Wisnu, staf program di Yayasan Kusuma Buana yg mendampingi para pekerja seks di berbagai wilayah di Jakarta.

Jerat Hutang dan Perubahan Gaya Hidup

Meski beda kelas, Tania yg high-class dan rekan-rekannya di pinggiran Jakarta sebenarnya tengah dihadapkan pd masalah yg sama. Mereka terpaksa ambil risiko kerja malam di bulan puasa karena kebutuhan hidup yg tak bisa ditunda. Utang adalah salah satu di antaranya, yg oleh Riza Wahyuni, SPsi, MSi dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jawa Timur, dianggap sebagai perangkap.

Riza yg jg merupakan fasilitator IOM (International Organization for Migration) mengatakan, pekerja seks yg menjadi korban trafficking terkadang sulit melepaskan diri jika sudah terjerat utang. Bahkan sejak pertama kali datang, mereka sudah dibebani hutang yg akan terus bertambah.

Di daerah tertentu seperti Indramayu Jawa Barat, kerap ditemukan orang tua menjual anak perempuannya kepada agen / calo. Awalnya, orang tua pinjam uang ke seseorang untuk memperbaiki rumah / menyekolahkan anak, lalu setelah besar anak tersebut dipekerjakan sebagai pekerja seks di tempat orang tersebut untuk melunasi utang.

"Sebenarnya ada yg pintar. Misalnya dikatakan utangnya lunas kalau sudah melayani 100 tamu, nah dia selalu mencatat. Tetapi ketika sudah dpt 100, ternyata tak bisa langsung berhenti. 'Kamu tidur di sini, makan saya yg bayari, berarti masih punya hutang lagi'," kata Riza.

Seorang relawan pendampingan pekerja seks di kawasan Jatinegara dan Matraman, Endang Suryanti membenarkan bahwa pekerja seks korban trafficking khususnya yg masih di bawah umur umumnya tak punya banyak pilihan selain menurut pd bosnya. Apalagi, bos alias mami / mucikari kerap memberikan fasilitas-fasilitas.

Fasilitas utang / pinjaman merupakan salah satu kemudahan yg diberikan oleh para mami pd pekerja seks yg dinilai bisa dipercaya. THR seperti yg diperoleh Tania jg termasuk pinjaman, yg pd saatnya tetap harus dibayar dari hasil kerjanya sendiri.

"Kadang orang tua di kampung tak mau tahu, tiap bulan minta dikirim sekian juta. Kalau nggak dapat, ya ambil cashbon. Maminya jg seneng, wong jadinya si anak jadi tambah lama di situ. Bukan ratusan lagi kalau utang, jutaan," kata Endang, mantan pekerja seks yg dilacurkan di usia 12 tahun dan kini menjadi Direktur Yayasan Bandungwangi.

Tentunya tak semua pekerja seks tetap beroperasi di bulan puasa dgn alasan terjerat utang. Wisnu justru mengkhawatirkan para pekerja seks, khususnya yg menjadi korban trafficking, susah berhenti karena faktor lain yakni ketika mereka terlanjur merasa 'enjoy'.

"Yang paling berat adalah ketika mereka sudah 'enjoy'. Karena jika sudah menemukan dunia itu (prostitusi) dgn segala kemewahan dan kemudahan mendapatkan uang, ya susah," kata Wisnu, yg jg memiliki komunitas dampingan di Indramayu.

Berbagai kemewahan dan kemudahan mendapatkan uang dinilai Wisnu turut melahirkan perubahan gaya hidup di kalangan pekerja seks. Perubahan ni bisa dilihat dari fenomena 'bule-bule lokal' yg membanjiri daerah-daerah asal para pekerja seks seperti Indramayu mulai minggu-minggu pertama bulan Ramadan. Bule-bule lokal ni tampil dgn rambut dicat warna-warni, dandanan modis menurut ukuran masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

D.M.C.A Disclaimer of Lukas Blog - All contents published under GNU General Public License.
All images/photos/videos found in this site reserved by its respective owners. We does not upload or host any files.