ohmlukas.blogspot.com - Salah seorang Sejarawan ternama dari Universitas Indonesia (UI) Tiar Anwar Bachtiar menilai istilah Islam Nusantara tak memiliki konsep yg padu dan kokoh. Istilah ni cenderung dipaksakan untk kepentingan-kepentingan politis tertentu, sekalipun Azyumardi Azra berusaha untk mengembalikannya ke ranah akademik.
Usaha ni kelihatannya akan sia-sia saja. Apa yg diinginkan orang lain berbeda dgn yg dikehendakinya. Ada beberapa argument yg perlu dijelaskan untk menunjukkan bahwa konsep ni sesungguhnya absurd dan tak memiliki makna yg jelas, ujar Doktor Sejarah UI ini.
Tiar menilai, maksud Islam Nusantara seperti yg disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, yaitu Islam yg menjadikan budaya sebagai landasan dlm beragama, bukan menghilangkannya, maka pernyataan ni sesungguhnya tak berisi sama sekali.
Budaya ni sejatinya adlh sesuatu yg sifatnya dinamis, tak statis. Apa yg dimaksud ‘merangkul budaya’ dlm definisi Said Aqil Siradj? Apakah yg dimaksud adlh baca Al Qur’an dgn lagu Dandanggula? Shalat pakai sarung, bukan gamis? Pake kopiah, bukan sorban? Atau apa?
Dikatakan Tiar, ketika Islam datang ke suatu tempat yg dibawa adlh ajaran. Ajaran Islam itu tak berwujud budaya, tapi pd teks ilahiah yg abadi, yaitu Al Qur’an dan Sunnah.
Pembawanya mungkin berbudaya tertentu seperti Arab, karena dia asalnya dari Arab. Sebagai makhluk berbudaya, dia akan bertindak sesuai dgn kebiasaan budayanya. Pertama kali ia pakai gamis, berbicara bahasa Arab, makan nasi mindi dan kabsyah dan sebagainya. Itu pasti dilihat oleh orang-orang yg didatanginya.
Nah, kalau yg didatanginya merasa tak ada masalah, biasanya kultur itu bisa berkembang / bahkan berakulturasi dgn budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Lihat saja bagaimana nasi Arab ni jadi makanan khas Betawi, nasi kebuli. Kejadian seperti ni normal dlm tiap hubungan antar-budaya.
Nama para kiai hampir semuanya berbahasa Arab. Sebut saja seperti KH. Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah, Abdurrahman Wahid, Musthofa Bishri, Yusuf Hasyim dan sebagainya. Apakah kira-kira NU siap di "nasionalisasi" dari Arabisasi yg sudah melekat menjadi karakter dan kultur NU?
Orang akan bingung dgn Islam Nusantara yg dimaksud Said Agil. Ketua Umum PBNU itu mestinya tak perlu sentiment terhadap Islam Arab yg definisinya jg tak jelas. Said hanya menyebut Islam Arab itu suka berkonflik. Ini jelas aneh. Harusnya buat statistic yg baik, berapa banyak warga Arab yg konflik tiap hari dan berapa banyak yg adem-adem saja. Kalau Islam Arab itu senang berkonflik mestinya mereka tak bisa hidup normal.
Kalau dibalikkan lagi ke Islam Nusantara apa benar tak pernah berkonflik / minimal tak senang berkonflik? Coba perhatikan ada tokoh NU - konon Ketua Pagar Nusa - berjuluk kiai bernama Nuril Huda. Dia biasa dipanggil Gus Nuril. Ceramah di Jakarta diturunkan dari pangung gara-gara memaki yg tak suka Maulid disebut wahabi, biang teroris semisalnya.
Apakah ni yg dimaksud anti kekerasan? Bukankah yg semacam ni adlh benih-benih timbulnya kekerasan? Model ceramah yg sama jg sering disampaikan oleh Said Agil Siradj sendiri. Bahkan istilah ‘Islam Nusantara’ yg dilontarkannya ni secara tak langsung berpotensi memecah belah umat dan menimbulkan konflik. Sebenarnya siapa yg senang berkonflik? tanya Tiar.
Tiar sangat berbaik sangka bahwa sebagian besar Kiai NU masih berpikiran lurus. Kalau yg dibawa-bawa oleh Said Agil Siradj adlh NU, mereka pasti tak akan menyetujuinya. Simak saja wawancara dgn KH. Ali Mustofa Ya’qub yg jg pengurus PBNU dan pernah menjadi sekretaris pribadi Gus Dur. Kiai yg jg Imam Besar Masjid Istiqlal ni bisa menundukkan masalah yg jernih.
Bagi elit NU seperti Said Agil Siradj, mungkin tipikal Ali Mustofa Ya’qub ni tak disenangi karena beliau selalu memberikan opini berbeda di kalangan elit NU sendiri. Ia bahkan seringkali dituduh sebagai NU-Wahabi, / Wahabi yg disusupkan ke tubuh NU.
sumber: IslamPos
other source : http://kabarmakkah.com, http://hipwee.com, http://tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar