ohmlukas.blogspot.com - Entah bagaimana ceritanya, akhir bulan lalu aku merasa tercekik oleh perbuatan sendiri. Dua minggu sebelum tanggal 31 Maret 2008, aku sudah tak bisa lagi mengambil uangku yg ada di ATM Swasta Nasional. Tak lain alasannya karena saldo uangku di bank sudah di bawah nominal 50 ribu.
Aku bingung, dua minggu ke depan harus makan apa dan dpt uang dari mana. Bulan ni aku sungguh tak bisa mengontrol keluar-keluarnya uang dari saku dan dompetku. Heran terhadap diri sendiri, mahasiswa semester 4 macam apa dlm tempo 2 minggu sudah bisa menghabiskan uang di atas setengah juta? Tapi sungguh, tak kuniatkan sedikit pun untk merengek meminta uang transferan pd papa. Cukup, aku harus terima konsekuensinya!
Kuputuskan untk mengambil sejumlah uang dari bank syari'ah yg berisi uang tabunganku untk ke tanah suci. Ragu, sungguh aku ragu. Uang ni insya Allah kuniatkan untk masa depan, tapi dipakai sebelum waktunya. Justru karena akulah yg lalai terhadap hidupku!
Belajar mengenal diri sendiri, aku terkesima dgn nominal yg kutemui. Sehari, aku sanggup menghabiskan 12 ribu rupiah untk makan pagi, siang, dan malam. Dalam sebulan, sudah habis 360 ribu. Kalau dikalikan 12 bulan, berarti dlm setahun ada jatah 4, 32 juta untk menghidupi tubuhku. Itu artinya, pd akhir tahun ke-4 (ideal kuliah di Perguruan Tinggi di Indonesia), aku adlh anak kost yg menghabiskan 17, 28 juta hanya untk mengisi perut kecilku.
Innalillah... Ampun, sungguh aku mohon ampun... Betapa Allah melapangkan rejeki bagiku dan keluargaku. Sekali lagi, aku mahasiswa yg belum berpenghasilan. Melihat dlm tempo 4 tahun, aku menghabiskan 17-an juta hanya untk makan dan minum, hanya untk menambah / pun menurunkan berat badan, dan bisa jadi hanya untk memuaskan nafsu kenyang. Ah, betapa ni sungguh tak sebanding!
Aku masih belum tega melihat nominal 17, 28 juta dlm kalkulatorku. Angka itu sungguh dahsyat! Apa itu artinya dgn berani aku mengatakan, "Aku kaya?" Tidak, kawan. Kaya bukan dlm nominal uang yg aku gunakan untk keegoisan diriku sendiri. Kaya bukan dlm takaran seberapa banyak aku menimbun kemakmuran pribadi untk jiwa lemahku ini.
Duhai, Rabb. Apa kelak aku bisa mempertanggungjawabkan, dari sekian banyak rejekiMu, telah seberapa sering aku mengajak anak jalanan merasakan nikmatnya makanan yg kumakan, kala sehari-harinya mereka merintih pedih menahan lapar dari siang sampai malam?
Apa kelak aku bisa mempertanggungjawabkan, dari sekian banyak rejekiMu, telah seberapa sering aku menyisihkan uang saku untk sekadar memberi anak-anak yatim piatu hadiah-hadiah mungil penghibur hati, kala mama dan papaku begitu rutin melantunkan do'a dan menghadiahkan kado tercantik saat hari kelahiranku?
Baca Juga: Kisah Mengharukan: Suamiku, Maafkan Aku Yang Tak Sempurna!
Terkadang aku berpikir, haruskah semua kenikmatan dunia ni diukur dlm bentuk nominal uang, agar lebih mudah kita mencerna bahwa Allah telah melapangkan dan menundukkan semua ni untk kita?
Maka, nikmat Tuhanmu manakah yg kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman : 13).
Penulis: Meralda Nindyasti
Alumni FKUB Malang
other source : http://news.detik.com, http://kabarmakkah.com, http://log.viva.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar