Hujan yg masih terdengar gemiricik di luar gubuk bilik bercahayakan lampu minyak menjadi satu-satunya irama pengiring kesunyian malam ini. Sayup sayup lambaian angin yg meniup memberikan sentuhan ngilu bagi sebaris bulu kuduk di daerah tengkuk. Sesekali sang kodok tak kalah irama menyanyikan lagu sendu nan menyakitkan genderang telingku. Aku yg semenjak tadi terduduk di balai bambu berselimut sarung hanya menatap hampa kepulan asap hitam yg keluar dari lampu minyak yg tersangkut miring di bilik sebelah pintu sebagai dinding kamar. Kepulan itu terus menari mengiringi irama gerimis sejak matahari terbenam sore tadi.
Sementara kerongkonganku mulai mendemo meminta sesuatu masuk mengalir melewatinya, spontan saja kujulurkan kedua kaki untuk segera beranjak dari balai bambu satu meter persegi tempat kami sekeluarga biasa bercengkrama sambil makan malam, balai bambu itu saksi dimana keluarga kami tumbuh dan berkembang, ia jg setia mengiringi kelahiran adik lelaki ketiga ku 48 purnama silam. Lantai tanah yg kupijak dimana alas kaki yg terbuat dari kayu mulai kuayunkan pun kini ikut meramaikan suasana dgn irama pemukul kayu.
Gelap, sunyi, senyap, itulah dapur tempatku akan mengambil kendi dimana tersimpan cukup air yg akan kutuangkan dalam gelas sekedar mengikuti keinginan sang kerongkongan. Aku yg sejak lahir disini sudah sangat hapal dimana ibuku meletakan segala perabotan dapur di rak bambu sebelah tungku dari tanah yg biasa kami gunakan untuk memasak tak membuatku sulit mengambil gelas. Segera saja kubalikan tubuh agar mudah meraih kendi penyimpan air, namun betapa terkejutnya aku saat mendengar suara sangat nyaring dari arah kamar bilik di tengah rumah, kamar itu kamar kami, tempat dimana aku dan dua orang adikku tidur saat malam merayap menjeput mentari esok pagi. Kamar itu dimana aku mencoba belajar membaca dgn ayah saat sore sepulang ayah dari ladang.
Suara itu semakin nyaring, nyaring sekali, memecah kesunyian yg hanya di iringin suara gemericik hujan. dan dalam hitugan ke tiga kalinya suara itu menghancurkan dinding telinga ibuku yg sedang me nina bobokan adik bungsuku yg lahir 24 purnama silam. Serta merta ibu berlari mendekati suara itu tanpa memperdulikan gelap ruangan yg dilewatinya. Dalam satu jurus saja ibu sudah berada dimana suara itu berasal, aku pun ikut berlari menuju suara itu. Suara itu belum berhenti. Suara itu teriakan adik ke tiga ku.
Aku pun berlari ... semakin cepat ...
Adik ku ...
Suara itu berbunyi ... " MAK ... PENGEN E..E .."
Catatan :
Ini hanya fiksi lho ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar