SULTAN SHALAHUDDIN AL-AYYUBI, namanya telah terpatri di hati sanubari Kaum Muslimin yg memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dlm sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan Tentara Salib yg merupakan gabungan pilihan dari seluruh Benua Eropa. Maka sudah sepantasnya kita membicarakan tentang beliau dlm satu bab tersendiri. Sebab, apabila disebutkan tentang Perang Salib, maka nama beliau tak akan terlupakan sebagai pahlawan perang dari pihak Islam yg paling berjasa. Salahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub / Salah ad-Din (Bahasa Arab: اÙØ£ÙÙبÙصÙØ§Ø Ø§ÙدÙÙ, Kurdi: صÙØ§Ø Ø§ÙدÛ٠اÛÙبÛ) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) / Saladin (biasa disebut oleh orang Barat) (1137 - 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang Muslim Kurdi dari Tikrit (daerah Utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasty Ayyubiyah di Mesir yg wilayah kekuasaannya meliputi Suriah, sebagian Yaman, Irak, Hijaz dan Diyar Bakr.
Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yg kesatria, bijaksana dan pengampun pd saat ia berperang melawan Tentara Salib. Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dgn sifat perikemanusian seperti yg terdapat dlm diri pejuang besar ini. Rasa tanggung jawab terhadap agama Islam telah ia baktikan dan buktikan dlm menghadapi serbuan Tentara Salib ke Tanah Suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dgn kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dpt memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard The Lionheart dari Inggris. Disamping sebagai panglima perang, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi jg adalah seorang ulama, beliau banyak memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dlm kitab hadits Abu Dawud.
Latar Belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M yaitu sekitar hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, ketika ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, Atabek (gubernur) Kerajaan Saljuk untk kota Mousul, Irak. Pendidikan dari ayah dan pamannya ni telah memberi andil yg tak kecil dlm membentuk kepribadian Shalahuddin.
Ketika Imaduddin Zanky berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Penguasa Syiria (Suriah) Nuruddin Mahmud (Nuruddin Zanky). Selama di Balbek inilah Shalahuddin mengisi masa mudanya dgn menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah Damaskus dikuasai Nuruddin Zanky, beliau melanjutkan pendidikannya di sana untk mempelajari agama Islam Sunni selama sepuluh tahun.
Dari usia belasan tahun Shalahuddin selalu bersama ayahnya di medan pertempuran melawan Tentara Salib / menumpas para pemberontakan terhadap pemimpinnya Sultan Nuruddin Mahmud. Ketika Nuruddin berhasil merebut kota Damaskus tahun pd tahun 549 H/1154 M maka keduanya ayah dan anak ni telah menunjukkan loyalitas yg tinggi kepada pemimpinnya.
Dalam tiga pertempuran di Mesir bersama-sama pamannya, Asaduddin Syirkuh melawan Tentara Salib, beliau dan pamannya berhasil mengusir mereka dari Mesir pd tahun 559-564 H/ 1164-1168 M.
Mencapai Kekuasaan
Paman Shalahuddin, Asaduddin Syirkuh adalah seorang jenderal yg gagah berani, beliau merupakan komandan Angkatan Perang Syiria yg telah memukul mundur Tentara Salib baik di Syiria maupun di Mesir. Syirkuh memasuki Mesir pd bulan Februari 1167 M dan menghadapi perlawanan Shawar, seorang Wazir (Perdana Menteri) Khalifah Fathimiyah yg menggabungkan diri dgn Tentara Salib Perancis dari Kerajaan Yerussalem. Hal ni terjadi karena Shawar merasa cemburu terhadap Syirkuh yg semakin populer dikalangan istana maupun masyarakat.
Dengan diam-diam Shawar pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari Pasukan Salib untk menghalau Syirkuh berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yg dipimpin oleh King Almeric I Raja Yerussalem menerima baik permintaan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asaduddin dgn King Almeric I yg berakhir dgn kekalahan Asaduddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asaduddin dan Shalahuddin dibenarkan kembali ke Damaskus.
Kerjasama Shawar dgn orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Mahmud dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkanlah tentara yg besar yg tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric I terburu-buru menyiapkan pasukannya untk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ni bertindak lebih tepat dan berhasil membinasakan pasukan King Almeric I dan menghalaunya dari bumi Mesir dgn aib sekali.
Panglima Syirkuh dan Shalahuddin terus maju ke ibu kota Kaherah dan mendapat tantangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dpt bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Wazir Besar Shawar lari dan bersembunyi di sebuah pekuburan. Ia berhasil ditemukan oleh Shalahuddin, kemudian ia ditangkap dan dibawa ke istana serta dihukum mati.
Serbuan Syirkuh yg gagah berani serta kemenangan akhir yg direbutnya atas gabungan Tentara Salib Perancis dari Yerussalem dan tentara Mesir itu memperlihatkan kehebatan strategi tentara yg bernilai ringgi.
Ibnu Aziz al-Athir menulis tentang serbuan panglima Syirkuh ni sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yg lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah Al-Adhid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan tiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang Sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah. Tetapi sayang, Syirkuh tak ditakdirkan untk lama menikmati hasil perjuangannya.
Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi pd tahun 1169 diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir (Wazir) dgn mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fathimiyah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud sebagai pemimpinnya. Tidak begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yg pemurah dan adil bijaksana.
Pada tahun itu pula Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yg bersekutu dgn Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit sekali orang yg optimis bahwa ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dlm beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi pergantian kekuasaan disebabkan bentrok yg terjadi antar anak-anak Khalifah untk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Syiria, dia jg tak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi’ah Mesir yg masih berada di bawah Khalifah yg lemah, Al-‘Adhid. Namun Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King Almeric I dan pasukan Romawi Byzantium yg melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah Khalifah Al-’Adhid, Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Dinasty Fatimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi’iyah itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yg berada dibawah Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untk Khalifah Al-Adhid pd khutbah Jumat hari itu ditukar kepada doa untk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi pemimpin Mesir Shalahuddin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya untk menghindari konflik apapun dgn Nuruddin, pemimpinnya yg resmi.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yg dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ni memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dgn Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Mahmud.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yg dgn kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dgn itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar yg selama ni dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Pada tahun 1174 Amelric I meninggal dunia dgn mewariskan tahta Kerajaan Yerusalem kepada putranya yg baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yg menderita penyakit lepra. Walaupun demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yg aktif dan efektif. Di tahun yg sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di Syiria yg termasyhur itu jg meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yg berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh.
Sultan muda ni diperalat oleh pejabat tinggi yg mengelilinginya, terutama seorang wali yg bernama Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan kekuasaan diantara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dgn menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan melanjutkan untk menyebutkan nama raja itu dlm khotbah-khotbah Jum’at dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ni tak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yg penuh ambisi. Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yg tak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi melawan dan menghancurkan mereka.
Selanjutnya Shalahuddin menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan memproklamasikan kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Saljuk serta menyatakan diri sebagai sultan untk wilayah Mesir pd tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan beberapa tindakan militer yg serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim yg lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara itu suasana yg tak menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin kepada Tentara Salib Perancis dar Yerussalem untk menyerang Damaskus yg selama ni dpt ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yg gagah berani, Jenderal Syirkuh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dgn meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah pimpinan Baldwin IV.
Tentara Salib dgn segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untk meninggalkan kota itu setelah menerima uang tebusan yg sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yg segera datang ke Damaskus dgn sebuah pasukan yg kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah berhasil menduduki Damaskus ia tak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pd tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin menyatukan Syria dgn Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah dgn beliau sendiri sebagai sultannya yg pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dpt menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan Hijaz ke dlm kekuasaannya yg besar. Negara di Afrika yg telah diduduki oleh Laskar Salib dari Normandia jg telah dpt direbutnya dlm masa yg singkat. Dengan ni kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup banyak untk mengusir tentara Kristen yg menduduki Baitul Maqdis berpuluh tahun.
Merebut Kota Yerussalem
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerussalem yg diduduki Pasukan Salib Templar dgn kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yg mula-mula dijalankannya adalah mengajak Tentara Salib Templar untk berdamai. Pada lahirnya, Kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ni dgn sombong.
Sultan sudah menyangka bahwa orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian, maka hal ni akan menjadi alasan bagi beliau untk melancarkan serangan. Untuk itu, beliau telah membuat persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untk memulai lagi peperangan."
Ternyata dugaan Sultan Shalahuddin tak meleset, baru sebentar perjanjian ditandatangani, Kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani Renanud / Count Rainald de Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu kafilah Muslim yg lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib yg dipimpin oleh Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem, tapi kali ni masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ni terkenal dgn nama Battle of Montgisard yg terjadi pd tahun 1177. Beliau mengadakan gencatan senjata dan kembali ke markasnya serta menyusun kekuatan yg lebih besar.
Suatu kejadian yg mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yg bergerak dgn pasukannya untk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ni hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dgn satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yg didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang, Count Rainald dan prajuritnya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka, termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count Rainald berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untk menyelamatkan mereka?”. Seorang anggota kafilah yg dpt meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yg telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pengkhiatan gencatan senjata itu dan mengirim perutusan ke Yerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tak memberikan jawaban. Buntut kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untk menghukum kaum salib yg sering mengkhianati janji itu dgn mengepung kota Tiberias. Maka terjadilah pertempuran yg sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dgn Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de Chatillon dan Raja Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV (1185).
Dalam pertempuran ni Tentara Salib Templar yg berjumlah 45.000 orang ni tak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pd tahun 1187. Seluruh Pasukan Salib hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yg sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Pasukan Salib yg tertawan diperlakukan dgn sangat baik oleh Shalahuddin.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dlm memperlakukan Tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yg berbeda seperti langit dan bumi, dgn perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yg dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh Tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah pertempuran ini, dua pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yg telah menawan saudara perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de Lusignan dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de Chatillon, yg telah begitu keji karena kekejamannya yg hebat yg ia lakukan kepada orang-orang Islam dan penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun beliau membiarkan Guy de Lusignan pergi, karena ia tak melakukan kekejaman yg serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yg sebenarnya.
Kekalahan tentara salib ni berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara salib semakin lemah, karena yg ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan jg panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariyyah, Akkra, Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dgn mudah, dan merupakan kulminasi / puncak reputasi Salahuddin yg makin ditakuti oleh pihak salib
Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, dan pd hari yg tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untk perjalanan mi’rajnya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh hari. Hal ni membuat penduduk di dlm kota itu tak dpt berbuat apa-apa dan kekurangan makanan. Waktu itu Yerussalem dipenuhi dgn kaum pelarian dan orang-orang yg selamat dlm Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tak kurang dari 60.000 orang yg terdiri dari Kesatria Templar.
sumber
Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yg kesatria, bijaksana dan pengampun pd saat ia berperang melawan Tentara Salib. Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dgn sifat perikemanusian seperti yg terdapat dlm diri pejuang besar ini. Rasa tanggung jawab terhadap agama Islam telah ia baktikan dan buktikan dlm menghadapi serbuan Tentara Salib ke Tanah Suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dgn kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dpt memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard The Lionheart dari Inggris. Disamping sebagai panglima perang, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi jg adalah seorang ulama, beliau banyak memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dlm kitab hadits Abu Dawud.
Latar Belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M yaitu sekitar hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, ketika ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, Atabek (gubernur) Kerajaan Saljuk untk kota Mousul, Irak. Pendidikan dari ayah dan pamannya ni telah memberi andil yg tak kecil dlm membentuk kepribadian Shalahuddin.
Ketika Imaduddin Zanky berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Penguasa Syiria (Suriah) Nuruddin Mahmud (Nuruddin Zanky). Selama di Balbek inilah Shalahuddin mengisi masa mudanya dgn menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah Damaskus dikuasai Nuruddin Zanky, beliau melanjutkan pendidikannya di sana untk mempelajari agama Islam Sunni selama sepuluh tahun.
Dari usia belasan tahun Shalahuddin selalu bersama ayahnya di medan pertempuran melawan Tentara Salib / menumpas para pemberontakan terhadap pemimpinnya Sultan Nuruddin Mahmud. Ketika Nuruddin berhasil merebut kota Damaskus tahun pd tahun 549 H/1154 M maka keduanya ayah dan anak ni telah menunjukkan loyalitas yg tinggi kepada pemimpinnya.
Dalam tiga pertempuran di Mesir bersama-sama pamannya, Asaduddin Syirkuh melawan Tentara Salib, beliau dan pamannya berhasil mengusir mereka dari Mesir pd tahun 559-564 H/ 1164-1168 M.
Mencapai Kekuasaan
Paman Shalahuddin, Asaduddin Syirkuh adalah seorang jenderal yg gagah berani, beliau merupakan komandan Angkatan Perang Syiria yg telah memukul mundur Tentara Salib baik di Syiria maupun di Mesir. Syirkuh memasuki Mesir pd bulan Februari 1167 M dan menghadapi perlawanan Shawar, seorang Wazir (Perdana Menteri) Khalifah Fathimiyah yg menggabungkan diri dgn Tentara Salib Perancis dari Kerajaan Yerussalem. Hal ni terjadi karena Shawar merasa cemburu terhadap Syirkuh yg semakin populer dikalangan istana maupun masyarakat.
Dengan diam-diam Shawar pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari Pasukan Salib untk menghalau Syirkuh berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yg dipimpin oleh King Almeric I Raja Yerussalem menerima baik permintaan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asaduddin dgn King Almeric I yg berakhir dgn kekalahan Asaduddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asaduddin dan Shalahuddin dibenarkan kembali ke Damaskus.
Kerjasama Shawar dgn orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Mahmud dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkanlah tentara yg besar yg tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric I terburu-buru menyiapkan pasukannya untk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ni bertindak lebih tepat dan berhasil membinasakan pasukan King Almeric I dan menghalaunya dari bumi Mesir dgn aib sekali.
Panglima Syirkuh dan Shalahuddin terus maju ke ibu kota Kaherah dan mendapat tantangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dpt bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Wazir Besar Shawar lari dan bersembunyi di sebuah pekuburan. Ia berhasil ditemukan oleh Shalahuddin, kemudian ia ditangkap dan dibawa ke istana serta dihukum mati.
Serbuan Syirkuh yg gagah berani serta kemenangan akhir yg direbutnya atas gabungan Tentara Salib Perancis dari Yerussalem dan tentara Mesir itu memperlihatkan kehebatan strategi tentara yg bernilai ringgi.
Ibnu Aziz al-Athir menulis tentang serbuan panglima Syirkuh ni sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yg lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah Al-Adhid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan tiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang Sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah. Tetapi sayang, Syirkuh tak ditakdirkan untk lama menikmati hasil perjuangannya.
Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi pd tahun 1169 diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir (Wazir) dgn mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fathimiyah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud sebagai pemimpinnya. Tidak begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yg pemurah dan adil bijaksana.
Pada tahun itu pula Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yg bersekutu dgn Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit sekali orang yg optimis bahwa ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dlm beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi pergantian kekuasaan disebabkan bentrok yg terjadi antar anak-anak Khalifah untk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Syiria, dia jg tak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi’ah Mesir yg masih berada di bawah Khalifah yg lemah, Al-‘Adhid. Namun Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King Almeric I dan pasukan Romawi Byzantium yg melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah Khalifah Al-’Adhid, Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Dinasty Fatimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi’iyah itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yg berada dibawah Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untk Khalifah Al-Adhid pd khutbah Jumat hari itu ditukar kepada doa untk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi pemimpin Mesir Shalahuddin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya untk menghindari konflik apapun dgn Nuruddin, pemimpinnya yg resmi.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yg dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ni memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dgn Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Mahmud.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yg dgn kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dgn itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar yg selama ni dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Pada tahun 1174 Amelric I meninggal dunia dgn mewariskan tahta Kerajaan Yerusalem kepada putranya yg baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yg menderita penyakit lepra. Walaupun demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yg aktif dan efektif. Di tahun yg sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di Syiria yg termasyhur itu jg meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yg berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh.
Sultan muda ni diperalat oleh pejabat tinggi yg mengelilinginya, terutama seorang wali yg bernama Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan kekuasaan diantara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dgn menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan melanjutkan untk menyebutkan nama raja itu dlm khotbah-khotbah Jum’at dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ni tak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yg penuh ambisi. Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yg tak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi melawan dan menghancurkan mereka.
Selanjutnya Shalahuddin menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan memproklamasikan kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Saljuk serta menyatakan diri sebagai sultan untk wilayah Mesir pd tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan beberapa tindakan militer yg serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim yg lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara itu suasana yg tak menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin kepada Tentara Salib Perancis dar Yerussalem untk menyerang Damaskus yg selama ni dpt ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yg gagah berani, Jenderal Syirkuh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dgn meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah pimpinan Baldwin IV.
Tentara Salib dgn segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untk meninggalkan kota itu setelah menerima uang tebusan yg sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yg segera datang ke Damaskus dgn sebuah pasukan yg kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah berhasil menduduki Damaskus ia tak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pd tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin menyatukan Syria dgn Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah dgn beliau sendiri sebagai sultannya yg pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dpt menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan Hijaz ke dlm kekuasaannya yg besar. Negara di Afrika yg telah diduduki oleh Laskar Salib dari Normandia jg telah dpt direbutnya dlm masa yg singkat. Dengan ni kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup banyak untk mengusir tentara Kristen yg menduduki Baitul Maqdis berpuluh tahun.
Merebut Kota Yerussalem
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerussalem yg diduduki Pasukan Salib Templar dgn kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yg mula-mula dijalankannya adalah mengajak Tentara Salib Templar untk berdamai. Pada lahirnya, Kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ni dgn sombong.
Sultan sudah menyangka bahwa orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian, maka hal ni akan menjadi alasan bagi beliau untk melancarkan serangan. Untuk itu, beliau telah membuat persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untk memulai lagi peperangan."
Ternyata dugaan Sultan Shalahuddin tak meleset, baru sebentar perjanjian ditandatangani, Kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani Renanud / Count Rainald de Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu kafilah Muslim yg lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib yg dipimpin oleh Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem, tapi kali ni masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ni terkenal dgn nama Battle of Montgisard yg terjadi pd tahun 1177. Beliau mengadakan gencatan senjata dan kembali ke markasnya serta menyusun kekuatan yg lebih besar.
Suatu kejadian yg mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yg bergerak dgn pasukannya untk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ni hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dgn satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yg didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang, Count Rainald dan prajuritnya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka, termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count Rainald berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untk menyelamatkan mereka?”. Seorang anggota kafilah yg dpt meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yg telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pengkhiatan gencatan senjata itu dan mengirim perutusan ke Yerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tak memberikan jawaban. Buntut kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untk menghukum kaum salib yg sering mengkhianati janji itu dgn mengepung kota Tiberias. Maka terjadilah pertempuran yg sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dgn Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de Chatillon dan Raja Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV (1185).
Dalam pertempuran ni Tentara Salib Templar yg berjumlah 45.000 orang ni tak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pd tahun 1187. Seluruh Pasukan Salib hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yg sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Pasukan Salib yg tertawan diperlakukan dgn sangat baik oleh Shalahuddin.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dlm memperlakukan Tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yg berbeda seperti langit dan bumi, dgn perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yg dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh Tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah pertempuran ini, dua pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yg telah menawan saudara perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de Lusignan dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de Chatillon, yg telah begitu keji karena kekejamannya yg hebat yg ia lakukan kepada orang-orang Islam dan penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun beliau membiarkan Guy de Lusignan pergi, karena ia tak melakukan kekejaman yg serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yg sebenarnya.
Kekalahan tentara salib ni berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara salib semakin lemah, karena yg ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan jg panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariyyah, Akkra, Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dgn mudah, dan merupakan kulminasi / puncak reputasi Salahuddin yg makin ditakuti oleh pihak salib
Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, dan pd hari yg tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untk perjalanan mi’rajnya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh hari. Hal ni membuat penduduk di dlm kota itu tak dpt berbuat apa-apa dan kekurangan makanan. Waktu itu Yerussalem dipenuhi dgn kaum pelarian dan orang-orang yg selamat dlm Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tak kurang dari 60.000 orang yg terdiri dari Kesatria Templar.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar