ohmlukas.blogspot.com - Dalam tradisi Islam, Idul Fitri adlh selebrasi kemenangan diri setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa. Momentum yg kemudian kita kenal dgn lebaran ni punya ciri khas tersendiri. Sesuai tata cara Islam, diselenggarakanlah salat Id tepat pagi pertama bulan Syawal. Sebelum itu pun, umat Islam sudah menyambutnya dgn berzakat dan mengumandangkan takbir di akhir Ramadan. Lebaran disambut dlm suka cita.
Tradisi lain yg khas negeri ni adlh mudik, yakni agenda pulang ke kampung halaman. Kita pernah melalui suatu orde yg mana saat itu pembangunan begitu masif. Sejalan dengannya, arus urbanisasi semakin deras. Orang-orang daerah pindah ke kota berbekal harapan. Bahkan hingga hari ini, kota masih jadi primadona bagi pencari kerja. Sebab itulah kota penuh dgn perantau dan perlu ada momentum untk memulangkan mereka, sekali pun untk sementara. Momentum itu adlh mudik lebaran.
Di kampung halaman, warga saling bersilaturahmi. Keluarga satu mengunjungi keluarga lain, begitu seterusnya. Mereka saling bersalaman, yg muda sungkem pd yg lebih tua, sementara itu anak-anak asyik mencicipi kue kering dan segala sajian di meja tamu sambil menunggu salam tempel dari tuan rumah. Meski semua itu bagian dari hari raya umat Islam, uniknya, umat lain ikut merayakan. Semisal warga Nasrani di kampungku pintu rumahnya pun terbuka, makanan ringan disiapkan, jg salam tempel buat anak-anak tanpa ada yg menuduh kristenisasi. Lebaran memang menjernihkan.
Waktu Fase-fase yg baru saja kita lalui, sejak sahur pertama sampai euforia lebaran ini, barangkali terasa biasa saja lantaran sudah jadi rutinitas. Tapi saat itu, sesungguhnya inti kehidupan kita sedang diotak-atik. Inti kehidupan termaksud adlh waktu. Martin Heidegger, filsuf kenamaan Jerman, bahkan menyusun risalah penting tentangnya: Sein und Zeit (1927). Dalam karyanya itu, Heidegger menyebut dua pengertian waktu, yakni innerzeitigkeit dan zeitlichkeit.
Lazimnya saat kita bertanya soal waktu maka orang akan mengintip jam tangan, melirik kalender, dan sebagainya. Waktu didefinisikan dlm konsep detik, menit, jam, hari, tahun, dan seterusnya. Ada satuan yg menentukan waktu. Belum puas dgn adanya satuan, waktu dibuatkan pola. Waktu bangun tidur jam lima pagi, waktu makan siang jam dua belas, waktu tidur jam sembilan malam, seperti itu. Apakah waktu begitu liar, hingga perlu diikat dlm satuan dan pola? Nyatanya iya.
Heidegger menyebut waktu yg terikat satuan dan pola sebagai innerzeitigkeit. Untuk memudahkan saja, beberapa penafsir Heidegger memakai istilah waktu objektif. Di banyak tempat selalu ada perbedaan waktu objektif, misal satuan penanggalan kita kenal ada Masehi dan Hijriah. Namun, satuan tersebut merupakan aturan objektif dlm suatu komunitas, untk kemudian disepakati masing-masing individu.
Menjelang Ramadan kemarin, umat Islam asyik mencari-cari innerzeitigkeit yg tepat. Mulai penentuan awal waktu puasa, jadwal imsakiyah, hingga jadwal pengisi ceramah semuanya diperhatikan betul-betul. Terkadang ada perbedaan innerzeitigkeit antara pemerintah dgn Ormas, / Ormas satu dgn yg lain. Syukurlah tahun ni awal puasa dan lebaran serentak, mungkin pihak yg berwenang menentukan itu lebih teliti daripada tahun-tahun lalu. Mungkin pula karena Tuhan ingin umat kita akur. Siapa tahu?
Ingatan Pengertian kedua ihwal waktu, yakni zeitlichkeit, memang tak mudah dipaparkan. Tapi kita bisa memahaminya dgn berangkat dari tradisi lebaran, yakni mudik dan silaturahmi. Selain mudik, jarang sekali perantau punya alasan pulang kampung. Hanya pd momentum tertentu, semisal ada saudaranya meninggal / hal lain. Selebihnya rutinitas sehari-hari di perantauan tak memberi kesempatan untk pulang. Tak pelak, ada jangka waktu yg menjaraki tiap-tiap kepulangan.
Kepulangan sekeluarga (ibu, bapak, anak-anak) ke kampung halaman biasanya setahun sekali, minimal. Selebihnya paling saat liburan sekolah, itu pun menyesuaikan libur kerja ibu-bapaknya. Mahasiswa yg kampung halamannya jauh minimal pulang satu semester sekali. Kalau mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yg rumahnya di Boyolali bisa pulang seminggu sekali, / bahkan tiap hari. Jarak-jarak itulah yg membawa perbedaan.
Beberapa tahun lalu aku mudik ke Wonogiri, saat berjumpa denganku, ada sepupu yg masih kecil tak mau kusalami. Barangkali ia takut dgn rambut gondrongku. Tahun depannya aku mudik lagi, bertemu sepupu lagi. Masih sama, seolah baru kemarin dan tak ada yg berubah sekalipun rambutku sudah agak pendek saat itu. Jarak setahun bisa saja tak membawa perubahan berarti, pikirku.
Tahun ini, keluargaku masih di Solo sehabis salat Id. Kami berkeliling ke rumah tetangga untk bersilaturahmi. Betapa kaget tetanggaku saat melihat adik kandungku kini tinggi badannya sama denganku. Aduh ngger, sak elingku mbah isih nggendong awakmu, saiki wis gerang, demikian ujar seorang tetangga seolah tak percaya. Padahal, tiap hari mereka semua berinteraksi dgn keluargaku, termasuk adikku tentunya. Tak ada jarak setahun, tapi ada perubahan yg begitu berarti, pikirku.
Maka sebenar-benar waktu adlh yg dihayati individu itu sendiri, mengabaikan hegemoni hari, pekan, bulan, tahun, dan seterusnya. Waktu dlm penghayatan sepupu dgn tetangga tentu berbeda, dan kadang tak terduga. Contoh lebih sederhana, satu jam yg dihabiskan dgn mengobrol bareng sahabat terasa lebih cepat ketimbang kuliah di kelas. Padahal sama-sama satu jam! Waktu dlm penghayatan individu inilah yg Heidegger sebut zeitlichkeit. Dalam keberjarakan waktu, individu mengais ingatan. Dari situlah teringat beberapa salah, sehingga perlu dimaafkan. Selamat lebaran, mohon maaf lahir dan batin.
other source : http://log.viva.co.id, http://reddit.com, http://adiksikopi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar