ohmlukas.blogspot.com - Beberapa waktu yg lalu, aku menjumpai spanduk besar di pinggir jalan bertuliskan, G30S/PKI bukan korban HAM, PKI jagal para jenderal. Kalimat itu sebenarnya terasa rancu, sebab G30S/PKI adlh peristiwa, dan PKI (juga militer di satu sisi) adlh subjeknya. Bagaimana mungkin suatu peristiwa ditunjuk sebagai korban? Tentu lebih tepat menunjuk subjek yg mengalami kerugian akibat peristiwa itu sebagai korban.
Terlepas dari kerancuan kalimatnya, spanduk tersebut sangat memprihatinkan. Saat ni sudah banyak perbaikan dlm kajian sejarah bangsa kita. Para ahli mengkaji secara kritis peristiwa-peristiwa politik Indonesia di masa lampau dan menemukan ada banyak hal yg sengaja ditutup-tutupi oleh satu rezim. Ironinya, setelah dilakukan upaya melelahkan itu, masih ada pihak yg ngotot bertaklid pd sejarah yg didiktekan penguasa rezim lalu. Now I see the funny side, kalau kata Joker.
Kita paham betul, obrolan ihwal sejarah senantiasa rawan distorsi. Sebetulnya tiap kita bebas menafsir segala peristiwa masa lalu, baik yg bersifat pribadi maupun kolektif. Tapi setelah penguasa mendikte sejarah dari satu sudut pandang saja melalui buku-buku diktat di sekolah, sudut pandang lain bakal ditolak mentah-mentah. Pantas saja Ivan Illich mengajak kita membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah!
Aku pribadi bersyukur diberi kesempatan menjadi mahasiswa sosiologi, yg sejak awal sudah menyatakan kemungkinan paradigma ganda dlm ilmu pengetahuan. Tapi aku pun masih menyayangkan, mengapa paradigma ganda itu tak diajarkan di semua bidang keilmuan saja? Apakah kepala anak-anak Indonesia dirasa tak kuat memuat lebih dari satu cara pandang? Aku khawatir jangan-jangan manusia Indonesia belum beranjak dari monyet inlander, sebagaimana para kolonial Belanda memandang kita dahulu. Aduh!
Bersikap Adil terhadap Sejarah Silakan saja tetap menganggap PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai pembunuh tujuh jenderal, tapi jangan abaikan genosida yg dilancarkan militer terhadap jutaan orang, dgn alasan yg kekanak-kanakan: balas dendam. Respon militer atas kematian tujuh jenderal itu sangat berlebihan, dan tak beradab. Kalau pun darah harus dibayar darah (meski berpolitik harusnya tak seperti itu), militer cukup membantai beberapa petinggi PKI sebagai bayaran atas beberapa jenderalnya yg mati.
Tetapi, militer yg dipimpin Suharto justru melakukan pembersihan total. Jutaan orang jadi korban, dan yg memprihatinkan: orang-orang yg bukan anggota, bahkan tak tahu sama sekali apa itu PKI turut terbunuh hanya karena dicurigai. Lebih menyebalkan lagi, alih-alih bertanggung jawab, / setidaknya meminta maaf lantaran salah sasaran, Suharto dlm pidatonya tahun 1971 malah menyalahkan masyarakat, Ribuan korban djatuh didaerah2 karena rakjat bertindak sendiri2, djuga karena prasangka2 buruk antar golongan yg selama bertahun2 ditanamkan oleh praktek2 politik jang sangat sempit.
Aku tak membela PKI, biar tak salah paham, lagipula aku memang berprinsip tak akan pernah fanatik pd satu partai politik pun, baik yg masih eksis / yg sudah mati. Siapa yg sesungguhnya perlu dibela adlh orang-orang yg jadi korban konflik PKI dan militer. Bukan militer / PKI yg jadi korban. Militer terlalu cengeng bila menganggap tujuh jenderalnya korban kekejaman PKI. Toh, para jenderal itu di kemudian hari dianggap pahlawan, sedangkan jutaan korban genosida dibilang pengkhianat bangsa. Jahat.
Pada akhirnya PKI menjelma momok yg bergentayangan. Ia bukan lagi sebentuk partai politik yg menjalankan praksis-praksis ideologinya, PKI adlh bahasa. Dulu, orang-orang bisa begitu mudahnya diangkut truk-truk militer hanya karena bertetangga dgn kader PKI. Di zaman kemudian, banyak orang sulit mencari pekerjaan lantaran di kartu tanda penduduknya tertulis eks-Tapol PKI. Baru-baru ni pun, mahasiswa UNEJ diamankan gara-gara membuat grafiti simbol palu arit.
Itu jugalah yg menjadi halangan bagi kita untk menegakkan keadilan HAM. Para aktivis yg membela korban-korban kekejaman di masa lalu pun harus menerima kenyataan bahwa mereka malah dicurigai simpatisan PKI, partai yg bahkan sudah lama mati. Lebih dari itu, beredarlah isu kebangkitan PKI (atau neo-PKI) yg didakwahkan oleh bermacam portal berita online abal-abal.
Presiden Indonesia, Joko Widodo, jg kena getahnya. Orang nomor satu di negara kita ni dicibir berbagai pihak, terkhusus lawan politiknya tentu saja, lantaran berencana meminta maaf kepada para korban G30S/PKI di muka umum. Aksi heroik tersebut sayangnya kalah dgn hegemoni bahasa yg mencitrakan PKI sebagai seburuk-buruk istilah. Maksud Joko Widodo barangkali sejalan dgn yg aku utarakan, membela orang-orang salah sasaran yg jadi korban militer. Tapi karena peristiwa itu ada sangkut-paut dgn PKI, presiden kita pun dianggap simpatik pd PKI.
Semoga masyarakat Indonesia segera sanggup menjadi manusia sebagaimana yg dianjurkan Pramoedya Ananta Toer melalui karyanya, Bumi Manusia: berlaku adil sejak dlm pikiran, apalagi dlm perbuatan.
CATATAN: Dimuat di situs web Selasar.com.
other source : http://okezone.com, http://viva.co.id, http://adiksikopi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar