Sudah waktunya aku menikah. Itulah yg sering terlintas dlm jiwaku. Usiaku yg sudah beranjak 23 tahun, membuat keinginan dan asa itu semakin kuat dlm diri ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yg pasti ditolong oleh Allah: orang yg berjihad di jalan Allah, budak yg ingin menebus dirinya (dengan membayar uang kepada majikannya)dan orang yg menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR.at-Tirmidzi, no. 1655 dan an-Nasa-I, no. 3120, dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani).
“…dan orang yg menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” Hadits ini, adlh salah satu motivasiku ingin segera menikah.
Terlebih lagi jika mengingat salah satu hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yg menjelaskan bahwa ketaatan seorang istri terhadap suami termasuk sebab yg menyebabkan masuk surga.
![]() |
Ilustrasi Muslimah |
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, jg berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pd suaminya, maka dikatakan pd wanita yg memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dlm surga melalui pintu mana saja yg engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ni shahih)
Subhanallah, ni semakin menggodaku untk menikah.
Ah, tapi dgn siapa? pikirku yg memang hingga saat ni belum menemukan ikhwan datang kepada orangtua untk melamarku.
Aku yakin, Allah telah tetapkan seseorang untukku. Tapi, sebagai manusia biasa, aku merasa gundah. Semakin gundah hati ini.
Suatu hari aku mendapat sms dari kawan sekantor bahwa ada rapat bersama bos di sebuah café, di kota tetanggaku, tak jauh dari kotaku hanya memakan waktu beberapa jam.
Saat itu, adlh kedua kalinya aku mengikuti rapat. Hari pertama rapat dgn bos. Maklum aku kerja di tempat yg berbeda dari kru lainnya. Jadi, tentu saja jarang bertemu dgn kawan-kawan sepekerjaan lainnya.
Datanglah aku ke sebuah café bersama seorang akhwat yg lebih senior di kalangan karyawan akhwat. Singkat cerita, kami pun rapat membahas masalah-masalah pekerjaan.
Ada rasa penasaran di hatiku kala itu. Ada seorang karyawan yg namanya sering disebut-sebut bos tak hadir dlm rapat. Dia ikhwan. Aku, bahkan temanku yg akhwat senior itu jg tak pernah tahu tentangnya. Ah, segera ku tepis rasa penasaran itu.
Rapat sempat tertunda karena panggilan shalat ashar telah datang. Tak lama setelah shalat ashar, datanglah seorang ikhwan. “Assalamu’alaykum,” katanya. “Wa’alaykumussalam,” jawab kami. Kemudian Bos memperkenalkannya pd kami. Sebut saja namanya Abdullah.
“Perkenalkan, ni Abdullah,” kata bos kepada kami.
Aku sempat melihatnya sekilas, tapi tak memperhatikannya. Dalam hati terbersit “Oh ni Abdullah.” Ia adlh termasuk karyawan teladan di kantor kami.
Ternyata ia masih terlihat muda. Tapi terkejutlah aku saat ia dipanggil “Ustadz.”
Wah, kurang sopan sekali jika aku jika memanggilnya “bang.” Bos, jika mendiskusikan soal pekerjaan, sering menyebut Abdullah. Ku pikir, ia hanya ikhwan biasa karena bos memanggilnya “bang Abdullah.” Maka, jika aku pun berdiskusi soal masalah pekerjaan yg berhubungan dgn Abdullah dgn bos, maka aku jadi ikut-ikutan bos dgn menyebutnya “bang Abdullah.”
Ada perasaan lucu sekaligus tak enak di hatiku saat tahu bahwa ia adlh seorang ustadz.
Tak lama, rapatpun selesai. Dan kami pulang ke rumah masing-masing. Masih, saat itu tak ada di antara kami yg tahu identitas asli Abdullah. Ia memang karyawan spesial, pikirku.
Saat dlm perjalanan pulang, ternyata hatiku masih penasaran dgn Abdullah. Aku bertanya kepada teman kerjaku, akhwat senior itu. Basa-basi aku berkata, “Ustadz Abdullah itu orang sini?” tanyaku. “engga tahu deh,” jawab temanku. Lalu temanku, yg jg jadi penasaran, bertanya kepada supir yg diminta bos mengantar kami. “Kurang tahu ya,” kata supir itu.
Mendengar jawaban mereka, semakin penasaranlah aku siapa Abdullah sebenarnya. Tapi, aku tak pernah berani menanyakan itu kepada bos. Lagipula tak ada urusannya dgn pekerjaan kami. Fokus saja pd pekerjaan masing-masing.
Aku dan Abdullah tak satu kantor. Bos adlh orang yg paham agama, sehingga karyawan akhwat dan ikhwan tak kerja bersama dlm satu kantor. Alhamdulillah, aku merasa beruntung bekerja di sini.
Setelah rapat di café itu, sekitar satu bulan, Abdullah mulai lebih terbuka dgn berkomunikasi dgn karyawan lainnya. Sehingga hubungan antar karyawan lebih terkoordinasi. Terlebih, ia adlh ikhwan yg senior di kantor kami.
Bos pernah memberitahu kami, jika ada suatu hal yg tak kami pahami, kami bisa bertanya pd Ustadz Abdullah.
Singkat cerita, aku sempat beberapa kali berkomunikasi melalui pesan dgn Abdullah. Tentu saja karena ia memiliki urusan pekerjaan denganku.
Tak ku sangka, Abdullah telah mengetahui beberapa hal tentang diriku. Karena bos sering menceritakan tentang aku. Maklum, aku sempat sering kali sakit sehingga jadi bahan pembicaraan orang-orang kantor. Hubungan kami sebagai sesama karyawan, berlangsung seperti biasanya. Hanya saja, pasca rapat itu, aku dan karyawan lainnya lebih mengenal Abdullah. Ternyata selain ia sangat rajin bekerja, ia jg sangat perhatian dan pengertian dgn karyawan lainnya. Dan, Abdullah ternyata telah menikah dan memiliki anak. Hanya saja telah bertahun-tahun ia tak tinggal bersama dgn istri dan anaknya karena pekerjaan di sini. Karyawan lain, termasuk leaderku, sering berkonsultasi padanya. Aku semakin melihat, memang ia adlh karyawan spesial.
Selang beberapa bulan, tak sampai dua bulan pasca rapat itu. Abdullah mengutarakan niatnya padaku, bahwa ia memiliki keinginan untk meminangku!
Betapa kagetnya aku kala itu.
Tapi, ku pikir, awalnya ia hanya bercanda saja. Ah, diakan telah memiliki istri dan anak. Tetapi, ia tegaskan bahwa ia memiliki keinginan memperistriku.
Masih tak yakin dan menganggap itu sebagai gurauan. Tapi, ternyata hatiku tak bisa melupakan itu begitu saja. Allah Maha Tahu segala isi hati.
Di satu sisi, aku sangat bahagia. Karena, saat itu aku memang sedang menanti-nanti ada ikhwan yg melamarku. Abdullah kian membuatku yakin bahwa niatnya itu bukan main-main, ia serius.
Tapi di sisi lain, betapa sedihnya aku. Saat menyadari bahwa ia telah menikah. Sungguh bukan aku menentang Syariat poligami yg dibolehkan Allah. Tetapi hambatan yg kami lihat sangat banyak.
Entahlah, aku merasa “klik” dengannya. Entah perasaan apa ini. Kami hanya bertemu sekali, itupun sekilas saja saat rapat. Abdullah mengatakan bahwa sejak pertama melihatku di café itu ia telah tertarik padaku. Padahal, kala itu ia tak melihat wajahku karena ia berusaha menundukkan pandangannya.
Allah yg Maha Mengetahui segala isi hati. Allah tahu bahwa akupun memiliki perasaan yg sama dengannya.
Setelah kami melihat hambatan-hambatan yg nampak begitu sulit dihadapi. Abdullah pun memutuskan untk mundur. Ia katakan bahwa ia sudah tak sanggup memperjuangkanku. “Maaf atas kelemahanku,” katanya.
Perih di hati sudah tak bisa disembunyikan lagi. Dia yg Maha Melihat tahu butiran air mataku mengalir deras. “Yaa Allah, berikan hati ni kelapangan untk menerima Qadarmu.”
Ku pikir, aku akan mudah melupakan. Tapi ternyata, semakin hari aku merasa hati ni semakin kuat. Semakin aku yakin bahwa dialah yg aku harapkan selama ini. Aku mengadu padaNya, bahwa aku mencintainya! “Yaa Allah, aku mencintainya karena Engkau, aku ingin menikah dengannya!”
Tapi, garis tangan tak bisa ku tentang. Aku harus ikhlash dgn ketetapanNya.
Baiklah, biar ku ceritakan hambatan yg membuat Abdullah mundur dari memperjuangkan akhwat yg ia sebut “istimewa” ini. Sungguh, aku merasa tak sebaik seperti yg ia pikirkan tentang aku. Allah Maha Mengetahui. Semoga Allah mengampuniku atas apa yg orang lain katakan, dan menjadikanku lebih baik dari yg mereka katakan.
Abdullah, sudah ku katakan ia telah menikah. Ya, salah satu penyebab terberat baginya untk tak meminangku adlh karena istrinya tak ingin dimadu. Abdullah khawatir, jika istrinya tak ridho, maka akan terjadi perselisihan di keluarganya. Tak hanya antara Abdullah dan istrinya, tapi jg dgn keluarga istrinya dan keluarganya. Ia menjelaskan panjang lebar perihal hambatan yg ia hadapi.
Subhanallah, aku paham mengapa istrinya tak ingin dimadu. Mereka telah bertahun-tahun tak bersama karena Abdullah harus bertugas di luar kota. Sementara, pekerjaannya ini, tak memungkinkan baginya membawa anak dan istri. Aku terharu dgn pengorbanan istrinya. Kesabarannya, kesetiaannya, sungguh tak bisa dibandingkan dgn kesedihanku merelakan Abdullah.
Telah beberapa kali Abdullah menyinggung masalah poligami dgn istrinya. Tetapi tampaknya istri sangat keberatan dan tak mau dimadu.
Aku tak mencela kelemahan istrinya, apalagi membencinya. Aku sadar, mungkin jika aku berada di posisinya, akupun akan keberatan dimadu. Allah yg membolak-balikkan hati kita.
Betapapun perihnya hati ni karena tak bisa menikah dgn ikhwan yg aku cenderung padanya, tak bisa dibandingkan dgn pengorbanan istri Abdullah. Siapalah aku ini, hanya akhwat biasa yg ingin menikah demi menjaga kesucian diri dan menjadi istri shalihah demi menggapai ridho Allah. Qadarallah, bertemu ikhwan yg sudah menikah.
Mungkin, orang akan mencelaku karena mencintai suami orang. Tapi siapa yg bisa menahan hati yg berada di jari-jari Ar-Rahman? Dialah yg membolak balikkan hati. Jika boleh memilih, tiap wanita tak akan mau mencintai orang yg sudah menikah. Tapi, aku hanyalah akhwat yg lemah yg tak kuat menahan rasa yg seharusnya lebih pantas ada setelah jalinan halal, menikah. Semoga Allah mengampuniku.
“Ukhti..maafkan aku mencintai suamimu. Aku memahami perasaanmu yg berat berbagi suami dgn saudarimu ini. Tapi, andai engkau pun mau memahami saudarimu ini. Bukan aku yg menetapkan ikhwan mana yg berniat menikahiku. Tapi Allah, yg Maha Pencipta. Qadarallah, suamimu lah yg memiliki niat menikahiku, menerima aku apa adanya. Tapi, jika memang Qadarallah mengatakan aku bukan untuknya, insya Allah aku ikhlash. Semoga engkau selalu berbahagia bersamanya. Uhibbuki fillah. Doaku menyertai kalian, insya Allah. Semoga Allah mengumpulkan kita di Jannah-Nya.”Demikianlah, segores tinta dlm catatan hidupku. Cerita singkat yg mungkin akan dikatakan orang “roman picisan.”
Aku yakin, Allah telah menetapkan yg terbaik bagiku. Ini, menjadi renungan bagiku. Ini, insya Allah akan menjadi pelajaran bagiku kelak. Jika kelak, aku panjang umur dan menikah dgn ikhwan lain. Lalu, suatu saat suamiku ingin menikah lagi dgn akhwat yg ia cintai karena Allah, semoga Allah memberikan hatiku kelapangan untk berbagi dgn saudariku.
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untk saudaranya sesuatu yg ia cintai untk dirinya”. (HR. Bukhari)
Aku tak mencela kekurangan saudariku, sungguh aku pun manusia yg memiliki banyak kekurangan. Biarlah ku titipkan cinta ni kepada Allah yg Maha Pengasih, Maha Penyayang. Semoga cinta ni semata-mata karenaNya. Sehingga bisa menjadi penyebab mendapatkan naunganNya di hari kiamat nanti.
Oleh: Salsabila (zafaran/muslimahzone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar