ohmlukas.blogspot.com - Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya adlh seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar. Mudah2an Ustadz masih ingat materi "memuliakan istri", ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dlm hal nafkah, istri tdk berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kpd suami utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra diantara kami, apalagi saat itu ustadz tak secara gamblang menyertakan hadits/ayat Qur'an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :
1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yg rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalo ya, tolong jg disertakan pendapat2 ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pd saat wukuf diarafah, disebutkan" ...dan berikanlah istrimu makanan dan pakain yg layak," secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adlh siap makan, sedangkan bahan makanan adlh siap olah, tetapi saya ragu, karena ni terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ni menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah. Amin
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Widia
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan terima kasih yg sebesarnya-besarnya atas semua yg telah disiapkan oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dlm kesempatan ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yg sekiranya kurang berkenan di hati dan jg merepotkan.
Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya mendengar bahwa sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata 'kenikmatan' para bapak selama ni jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tak wajib memberi nafkah, baik makanan, minuman, pakaian dan jg tempat tinggal, bukan hal yg aneh lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan itu jg pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan. Coba, ibu bisa lihat di pasar dan supermarket di Doha, yg belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?
Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adlh bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yg keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah sehari-hari yg para suami, bukan para istri. Ibu-ibu kan lihat sendiri di Doha.
Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dlm ketiga mal itu, umumnya saya ketemu dgn laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya sama suaminya. Jadi yg belanja kebutuhan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak.
Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yg hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini jg menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia, kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yg datang pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya tak harus dgn alasan pd kerja. Tapi di Doha, yg datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari, selepas bapak-bapak pulang kerja.
Mana Ayat Quran / Haditsnya?
Ya, terus terang tak ada ayat yg menjelaskan sedetail itu, begitu jg dgn hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yg bunyinya bahwa yg wajib masak adlh para suami, yg wajib mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adlh para suami.
Kita tak akan menemukan hadits yg bunyinya bahwa kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit.
Yang kita temukan adlh contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan jg para shahabat. Sayangnya, memang tak ada dalil yg bersifat eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dgn cara yg berbeda.
Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yg bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ni dijadikan hujjah kalangan yg mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Tapi ada banyak kajian menarik tentang kisah ni dan tak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untk suaminya.
Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma' memang tak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy.
Dan ada jg kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu, pria yg diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tak punya pembantu. Tidak ada orang yg bisa disuruh untk memasak buat istrinya, / mencuci baju istrinya.
Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yg masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yg berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yg wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
اÙرِّجَاÙُ ÙَÙَّاÙ
ُÙÙَ عَÙَ٠اÙÙِّسَاء بِÙ
َا ÙَضَّÙَ اÙÙّÙُ بَعْضَÙُÙ
ْ عَÙَ٠بَعْضٍ ÙَبِÙ
َا Ø£َÙÙَÙُÙاْ Ù
ِÙْ Ø£َÙ
ْÙَاÙِÙِÙ
ْ
Kaum laki-laki itu adlh pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yg lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Tapi apa yg saya sampaikan itu tak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dlm kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pd hakikatnya tak punya kewajiban untk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dlm kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yg masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untk pulang membaca makanan yg siap santap.
Di dlm kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,"Saya tak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tak boleh dipaksa untk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, / menyediakan pembantu untk memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dlm kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untk berkhidmat, tapi tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adlh pihak yg wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dlm kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yg ditetapkan (dalam pernikahan) adlh kewajiban untk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tak diwajibkan untk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yg sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dlm bentuk lain tak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda / memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yg dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita jg menemukan pendapat para ulamanya yg tegas menyatakan bahwa tak ada kewajiban bagi istri untk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yg sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yg bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yg siap santap, baik untk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yg bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Tapi kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dgn pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adlh imbal balik dari nafkah yg diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dgn pendapat Syeikh yg tinggal di Doha Qatar ini, tapi satu hal yg jg jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dgn nilai yg pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yg harus berpikir tujuh keliling untk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri jg harus dpt 'jatah gaji' yg pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.
Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ni dgn benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tak ada alasan buat para wanita muslimah untk latah ikut-ikutan dgn gerakan wanita di barat, yg masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yg lalu memposisikan istri sebagai makhuk yg harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yg bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka jg bukan jongos yg kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat ni ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dgn ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yg teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
source : http://okezone.com, http://cnn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar